Rabu, 13 Februari 2013

Hadist Missogynist


Hadist Missogynist.

Misoginis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris “misogyny” yang berarti “kebencian terhadap wanita”[2]. Klaim adanya unsur misoginis dalam hadis dipopulerkan oleh Fatima Mernissi[3] dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry[4] untuk menunjukkan hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derjat perempuan. Kajian hadis misoginis menjadi topik yang selalu hangat dibahas dewasa ini, seiring dengan pembahasan kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia dalam pelbagai aspek kehidupan yang berimbas pula pada pembahasan agama. Banyak hadis yang dianggap misoginis oleh kalangan feminis terutama hadis yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, tetapi penulis hanya akan mengulas tiga hadis yang paling sering diklaim tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

A. Hadis tentang Rasulullah saw akan menyuruh wanita sujud pada suaminya jika dibolehkan sujud pada selain Allah
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها[5] 
Artinya: Dari Abi Hurairah: Nabi saw berkata: jikalau aku memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh istri untuk sujud kepada suaminya.
Fatima Mernissi dalam buku Setara di Hadapan Allah (terj) mengkritik dan menolak matan hadis ini, karena menurutnya Islam sebagai agama monoteis tidak membenarkan seseorang menyembah sesuatu selain Allah[6].
Kajian Sanad Hadis
Hadis ini diriwayatkan dari banyak sahabat yaitu Abu Hurairah, Qays bin Sad[7], Anas bin Malik[8], Muaz bin Jabal[9], Abdullah bin Abi Awfa[10], Aisyah[11]. Meskipun tidak ada riwayat yang sahih, tetapi minimal terdapat riwayat hasan, yaitu riwayat dari Abu Hurairah di atas.
Al-Syaukani mengungkapkan dalam kitabnya Naylu′l Awtar bahwa sebagian riwayat menjadi syahid terhadap riwayat lain sehingga semuanya saling menguatkan satu sama lain[12]. Kesimpulannya, hadis ini dapat diterima, kecuali beberapa kalimat dalam matan hadis-hadis tersebut yang ditolak oleh para ulama.
Kajian Matan Hadis
Latar belakang munculnya hadis ini adalah ketika Muaz bin Jabal kembali ke Medinah dari Syam, dia langsung sujud kepada Rasulullah saw karena dia melihat kaum Yahudi dan Nasrani di Syam sujud kepada rabi-rabi dan uskup-uskup serta pastor-pastor mereka, dia berfikir bahwa Rasulullah saw lebih berhak untuk mendapatkan penghormatan dengan bersujud kepada beliau, sehingga Rasulullah mensabdakan hadis ini[13]. 
Lantas, benarkah matan hadis ini mengandung unsur penghambaan istri kepada suami? Bila dikaji lebih lanjut, sujud dapat diartikan menjadi dua macam, pertama sujud ibadah yang hanya boleh ditujukan pada Allah, dan kedua sujud sebagai penghormatan yang diperbolehkan untuk selain Allah, sebagaimana malaikat sujud dengan tunduk dan tawadu’ menghormati Adam as sebagai imam karena dia adalah khalifah Allah.[14] Sujud penghormatan juga dilakukan di masa Nabi Yusuf as:
yìsùuur Ïm÷ƒuqt/r& n?tã ĸöyèø9$# (#ryzur ¼çms9 #Y£Úß ( tA$s%ur ÏMt/r'¯»tƒ #x»yd ã@ƒÍrù's? }»tƒöäâ `ÏB ã@ö6s% ôs% $ygn=yèy_ În1u $y)ym ( ÇÊÉÉÈ[15] 
Artinya: Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana, dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf dan Yusuf berkata: "Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku Telah menjadikannya suatu kenyataan…
Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi seorang istri dalam melaksanakan hak suaminya karena sujud kepada manusia tidak diperbolehkan[16]. Secara eksplisit hal ini dapat dilihat dari ungkapan Rasulullah dengan memakai kata “law” atau “jika”, sehingga makna sujud disini bukanlah bermaksud perintah, melainkan hanya sekedar perumpamaan atau pengandaian yang sekaligus mengindikasikan betapa besarnya kewajiban istri dalam menunaikan hak suaminya[17].
Sebagian feminis liberal juga menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan ajaran moral yang substansial dalam al-Quran yang menggariskan konsep kesetaraan antara suami istri. Tudingan ini disangkal oleh ayat al-Quran sendiri, karena Allah swt juga telah mengisyaratkan kelebihan derajat yang dianugrahkan kepada para suami, seperti dalam firman-Nya:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ [18]
Artinya: dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kelebihan yang Allah anugrahkan ini tentu saja bukan untuk menindas istri, melainkan sebagai ukuran kebaikan bagi suami dalam memperlakukan istrinya, sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Abduh dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas berkata: “Aku berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untukku, karena adanya ayat ini”[19].
B. Hadis tentang istri dilaknat malaikat jika tidak memenuhi panggilan suami ke tempat tidur.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم إذا دعا الرجل امرأته  إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
Artinya: Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu istri enggan mendatanginya kemudian ia tidur dalam keadaan marah, maka istri dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari[20].
Masdar F Mas’udi menyatakan meskipun hadis ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim, tapi tidak dapat diterima begitu saja karena Rasulullah saw tidak mungkin mensabdakan ketidakadilan suami terhadap istri[21]. Kritik senada diungkapkan Siti Musdah Mulia bahwa pemahaman tekstual terhadap hadis tersebut akan menimbulkan kesan yang kuat tentang ketinggian derjat lelaki atas perempuan, bahkan menjadi alat legitimasi bagi lelaki untuk memaksa dan mengeksploitasi perempuan dalam hubungan seksual. Menurutnya, jika penolakan dikarenakan kondisi istri sedang tidak sehat atau tidak bergairah atau karena suami mengajak dengan kasar dan tidak manusiawi, maka seharusnya suamilah yang mendapat laknat malaikat karena dia dianggap melakukan nusyuz terhadap istri.[22] Zaitunah Subhan juga berpendapat serupa, bahwa laknat malaikat tidak bisa disimpulkan mutlak menimpa istri yang tidak memenuhi ajakan suaminya saja, tetapi juga berlaku bagi suami, karena Islam mengakui keberadaan perempuan sebagai individu independen yang juga mempunyai hak yang dapat dituntut.[23]



Kajian Sanad Hadis
Walaupun hanya diriwayatkan dari Abu Hurairah saja, tetapi dari lima riwayat yang ada, tiga di antaranya terdapat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, sehingga status hadis ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Hadis riwayat Abu Dawud juga dinyatakan sahih oleh al-Albani[24].
Kajian matan hadis
Pada hakikatnya dalam matan hadis tidak terdapat kontradiksi apapun dengan ayat al-Quran ataupun hadis sahih lainnya. Bahkan al-Quran ketika menyebutkan tentang berjimak secara khusus, selalu ditujukan kepada lelaki, antaranya dalam firman Allah:
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 ÇÊÑÐÈ [25] 
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu…
Oleh sebab itu, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memahami hadis ini -agar tidak terjebak dalam prasangka negatif bahwa hadis ini melecehkan kaum wanita- adalah:
1. Analisis bahasa
Hadis ini mengungkapkan ajakan suami dengan kata: da′a yang berarti ajakan yang baik, sopan, dan bijaksana serta mengetahui keadaan orang yang diajak. Sedangkan penolakan istri terhadap panggilan tersebut diungkapkan dalam kata abat, sama dengan kata yang digunakan al-Quran ketika menyebutkan keengganan iblis untuk sujud kepada Adam. Selain itu dalam matan hadispun disebutkan, bahwa laknat malaikat hanya akan berlaku bila penolakan istri membuat suami marah dan kesal. Jadi keengganan istri untuk segera melayani suami yang berakibat laknat malaikat hanyalah jika penolakan dilakukan tanpa alasan syar’i dan logis yang menghalanginya untuk segera melayani suami sehingga suami marah, padahal ia telah meminta dengan baik dan sopan.
2. Perbedaan Fisiologis dan Psikologis lelaki dan wanita
Menurut para ahli Psikologi, hasrat seksual lelaki lebih banyak berkaitan dengan fungsi fisiologisnya, karena lelaki akan mengumpulkan sperma ketika hasrat seksualnya meningkat, sehingga menuntut untuk segera disalurkan. Berbeda dengan perempuan, hasrat seksual mereka lebih banyak bersumber dari kebutuhan psikologisnya untuk memperolehi kehangatan dan cumbu rayu dari orang yang dicintainya.[26]
Ada beberapa fakta ilmiah tentang perbedaan seksual lelaki dan wanita[27]:
  1. Gairah seksual wanita berbeda dari waktu ke waktu yang diakibatkan oleh adanya haid yang disertai dengan perubahan hormon secara fisik. Sebaliknya, gairah seksual lelaki bisa terjadi setiap saat dan tidak mengenal waktu.
  2. Lelaki mudah sekali terangsang bahkan hanya dengan sekedar memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas seksual meskipun tanpa persiapan sebelumnya. Sedangkan wanita memerlukan rangsangan sebelum melakukan hubungan seksual, sebab ia hanya akan menginginkan seks ketika suasana batinnya dipenuhi cinta, kasih sayang, rayuan dan sentuhan fisik terlebih dahulu.
Semua perbedaan alamiah ini, sangatlah penting direnungkan oleh pasangan suami istri, sehingga mampu memahami kondisi masing-masing. Allah telah menciptakan pelbagai rahasia penciptaan dua jenis kelamin yang berbeda, agar mereka dapat saling memenuhi hak-hak satu sama lain dengan sempurna.
Jadi, banyaknya nash-nash yang menekankan tentang hak suami dalam hubungan seksual dan menganjurkan istri untuk segera memenuhinya, adalah karena fitrah lelaki itu menuntut, sedangkan wanita adalah pihak yang dituntut. Lelaki sangat cepat merespon rangsangan sesuai dengan sikap hidup dan aktifitasnya. Maka, hendaklah suami bersikap lemah lembut dalam meminta hubungan seksual kepada istri, dan hendaklah istri bersikap kasih sayang dalam memenuhi panggilan suaminya, walaupun sedang sibuk[28].
Meskipun demikan, Islam tidak meremehkan hak seksual kaum wanita yang sama-sama penting dengan hak lelaki. Salah satu bukti adalah riwayat dari Aun bin Juhaifah dari ayahnya yang menceritakan tentang Ummu Darda yang mengeluhkan suaminya tidak lagi memerlukan dirinya ketika ditanya oleh Salman al-Farisi, sehingga Salman menasehati Abu Darda: “Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, dirimu sendiri juga memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu. Maka, berikanlah setiap hak kepada pemiliknya” Abu Darda lalu menanyakan pada Rasulullah saw dan beliau bersabda: “Salman benar”[29].
Begitu banyak hikmah dari perintah memenuhi ajakan suami dengan segera, yang pada hakikatnya demi kepetingan istri juga. Keengganan seorang istri untuk melayani suaminya tanpa alasan bisa menyebabkan buruk sangka suami dan menganggap istrinya tidak lagi setia, dan membuka kesempatan untuk melirik wanita lain. Bahkan, kalaupun suami berusaha keras menahan diri untuk tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya, dia akan menderita tekanan batin, depresi, malas bekerja, dan cepat marah[30], yang tentunya berdampak negatif pada keharmonisan rumah tangga.


C. Hadis tentang wanita penghuni neraka paling banyak karena kufur terhadap suami.
عن أبي سعيد الخدري قال خرج رسول الله  صلى الله عليه وسلم  في أضحى أو فطر إلى المصلى فمر على النساء فقال يا معشر النساء تصدقن فإني أريتكن أكثر أهل النار  فقلن وبم يا رسول الله قال تكثرن اللعن وتكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن قلن وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول الله قال أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذلك نقصان من عقلها أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم قلن بلى قال فذلك من نقصان دينها[31]
Artinya: dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Adha atau Idul Fitri, lalu beliau melewati tempat shalat wanita dan bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian, sesungguhnya aku melihat kalian adalah penduduk neraka paling banyak” Para wanita bertanya: “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Tidaklah aku lihat golongan yang lemah akal dan agamanya yang dapat menghilangkan fikiran lelaki yang cerdas kecuali kalian”. Mereka bertanya: “Apa kekurangan akal dan agama kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “bukankah kesaksian seorang wanita sama dengan setengah kesaksian lelaki? Mereka menjawab: “betul”. Rasulullah bersabda: “Itulah kekurangan akalnya. Bukankah jika haid wanita tidak shalat dan tidak puasa?” Mereka menjawab: “betul”. Rasulullah bersabda: “Itulah kekurangan agamanya”.
Kajian Sanad Hadis
Sanad hadis ini diperoleh dari 5 sahabat yaitu Abu Said Al-Khudri, Ibnu Abbas[32], Ibnu Umar[33], Abu Hurayrah[34], dan Ibn Mascud[35] dengan banyak sekali jalur periwayatan yang ditulis dalam kitab hadis mu’tabar: Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah dan Ahmad bin Hanbal. Dua hadis diriwayatkan Bukhari dan satu riwayat dalam Sahih Muslim, sehingga tidak diragukan kesahihannya. Sementara al-Albani juga menyatakan hadis riwayat Tirmizi dan Ibn Majah adalah sahih.[36]


Kajian Matan Hadis
Jika hadis ini dipahami menurut paradigma barat, tentu kita akan salah memahaminya. Mengapa wanita disebutkan lebih banyak masuk neraka, padahal wanita diciptakan sama seperti lelaki, yaitu tanpa dosa asal. Oleh karena itu, hadis ini harus dipahami bersama-sama dengan hadis lain yang semakna dengannya[37]. Sehingga, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan yaitu:
Pertama: Apakah hadis ini berarti wanita lebih dominan dikuasai kejahatan dalam fitrah mereka sementara lelaki tidak? Jawabannya tentu tidak, jika memang kejahatan telah ada pada diri wanita, tentu mereka tidak akan diminta pertangungjawaban darinya. Akan tetapi hadis tersebut menyatakan bahwa mereka bertanggung-jawab terhadap apa yang mereka kerjakan sendiri, seperti tidak patuh kepada suami. Maka tidak salah jika Ibn Hajar menyatakan bahwa dalam hadis Jabir terdapat dalil yang menunjukkan bahwa yang terlihat dalam neraka adalah wanita-wanita yang memiliki sifat-sifat tercela[38] seperti dalam hadis ini:
وأكثر من رأيت فيها  من النساء إن ائتمن أفشين وأن سألن ألحفن وإذا سئلن بخلن وإذا أعطين لم يشكرن[39]
Artinya: Orang yang paling banyak aku lihat di dalam neraka adalah kaum wanita yang apabila diberi kepercayaan menyimpan rahsia dia bocorkan, apabila diminta sesuatu kepadanya ia bakhil, apabila mereka meminta, mereka bersikeras dan meminta lebih banyak, dan mereka tidak pandai berterima kasih.
Begitu juga riwayat dari Ibnu Abbas:
النبي صلى الله عليه وسلم: أريت النار فإذا أكثر أهلها النساء يكفرن قيل أيكفرن بالله قال يكفرن العشير ويكفرن الإحسان لو أحسنت إلى إحداهن الدهر ثم رأت منك شيئا قالت ما رأيت منك خيرا قط[40]
Artinya: Nabi saw bersabda: “Aku melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, mereka telah mengkufuri”. Dikatakan: “Apakah mereka kufur terhadap Allah?” Rasulullah saw bersabda: “Mereka mengkufuri suami dan kebaikan, jika engkau berbuat baik kepadanya selama satu tahun penuh, lalu dia melihat sesuatu yang buruk darimu, maka dia akan mengatakan aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu”.
Jadi, dosa yang paling banyak menyeret wanita masuk ke neraka adalah kemaksiatan tehadap suaminya dan pengingkaran terhadap segala kebaikan suaminya.
Kedua: Peringatan Rasulullah saw dalam hadis ini mudah diterima oleh muslimah pada zaman Rasulullah saw karena mereka sering mengingat dan diingatkan tentang hari kebangkitan, padang mahshar, syurga dan neraka. Justru, hal ini tidak mengejutkan mereka, malah mereka berusaha bertanya kepada Rasulullah saw kenapa dan bagaimana cara mengelakkannya. Berbeda dengan keadaan muslimah zaman sekarang yang mayoritas terlena dan lalai dari urusan hari akhir, sehingga ketika mendengar hadis ini mereka terkejut dan buru-buru berusaha menepisnya. Oleh karena itu, hendaklah memahami hadis ini sesuai suasana masyarakat ketika ia disabdakan[41].
Ketiga: Hadis ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin -baik lelaki maupun wanita- agar mereka berusaha sedaya upaya untuk menghindarkan diri dari siksa neraka. Bagi kaum wanita, dapat dilakukan dengan memperbanyak sedekah dan meninggalkan sikap durhaka terhadap suami atau kufur terhadap budi baiknya.
Sedangkan bagi lelaki, dengan memelihara ibu-ibu, istri-istri, puteri-puteri, dan saudari-saudarinya dengan baik. Dia berkewajiban menyediakan kesempatan yang cukup bagi mereka untuk mendapatkan pengajaran dan melakukan berbagai ibadah dan ketaatan pada Allah, agar hati mereka dipenuhi nilai-nilai iman dan taqwa. Tanggung jawab ini sepenuhnya ada di pundak kaum lelaki[42]. Sebagaimana Allah telah memerintahkan dalam firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur#Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur[43] 
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu (berhala);
Ibnu Hajar ketika mengomentari hadis ini juga mengatakan bahwa dalam hadis ini terdapat anjuran menyampaikan nasihat kepada wanita sebab nasihat dapat menghilangkan sifat tercela, sedangkan bersedekah yang dianjurkan kepada wanita dapat menghindarkan azab dan menghapuskan dosa yang terjadi antara para makhluk.[44]
PENUTUP
Bedasarkan penjelasan di atas, tidak sedikitpun kita temukan fakta bahwa terdapat unsur misoginis di dalam hadis-hadis tersebut. Bahkan semua ini semakin mengukuhkan syariat Islam sebagai satu-satunya agama yang menjaga dan mengatur secara terperinci hak-hak setiap individu lelaki maupun wanita, agar dapat terpenuhi sesuai fitrahnya masing-masing. Kesetaraan gender dalam Islam bukanlah dengan menjadikan posisi suami istri selalu sama rata dalam segala hal, melainkan persamaan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah dan peranan masing-masing untuk saling melengkapi dalam membina mahligai rumah tangga.
Selain itu, salah satu kesalahan paradigma para feminis liberal - disamping memakai ilmu humaniora barat dan logika akal sebagai asas utama memahami al-Quran dan hadis - adalah mereka membawa permasalahan yang terjadi dalam tataran sosial ke ranah ideologi, sehingga ketika menjumpai ketidakadilan terhadap istri dalam masyarakat muslim, mereka buru-buru menuding bahwa teks-teks agamalah penyebabnya, atau tafsir dan penjelasan ulamalah yang misoginis dan terlalu partriarki (memihak lelaki). Padahal seharusnya dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan mengadakan perbaikan dalam masyarakat, hendaknya tetap dilandaskan pada syariat Islam, karna realitanya mayoritas para pelaku ketidakadilan terhadap istri adalah mereka yang tidak memahami syariat dan mengabaikan nash-nash al-Quran dan hadis, yang secara komprehensif telah menuntun pemenuhan hak-hak istri sebagaimana mestinya. Wa′lLahu alam bi al-shawab.


[1] Disampaikan dalam Kajian FOSMA Kairo, 21 November 2009
[2] Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,1986, h 382.
[3] Fatima Mernissi adalah seorang penulis, sosiolog, dan feminis kelahiran Maroko tahun 1940. Ia kuliah tentang ilmu politik di Universitas Mohammed V Rabat, Maroko, dan melanjutkan pasca sarjana di Universitas Sorbonne, Perancis dan Universitas  Brandeis,  Amerika Serikat , hingga mendapatkan gelar doktor tahun 1973.
[4] Buku ini merupakan edisi revisi dari disertasi Fatima Mernissi berbahasa Perancis yang diterbitkan dalam bahasa Inggris: Beyond the Veil: Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam judul Seks dan Kekuasaan, penerbit Al Fikr, 1975. Sedangkan buku Women in Islam ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 1994 dengan judul Perempuan dalam Islam oleh penerbit Pustaka.
[5] Al-Tirmizi, al-Jami al-Shahih Sunan al-Tirmizi, al-Nikah, bab Ma Ja’a Fi Haq al-Zawj ala′l Mar’ah, Beirut: Dar Ihya al-Turasil Arabi, juz 3, h 465, hadis no.1159.
[6] Fatima Mernissi dan Rif'at Hassan, Setara di Hadapan Allah (terj), Yogyakarta: Media Gama Offset, 1999, h 44.
[7] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Fikr, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ala al-Mar‘ah, juz 2 h 224, hadis no.2140.
[8] Al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmi, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ‘ala al-Mar’ah, juz 5, h 363, dan Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Mesir: Muassasat Qurtubah, juz 3 h 158.
[9]  Al-Hakim al-Naisabury, al-Mustadrak ala al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1990 M/1411 H, juz 2 h 208.
10 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ala al-Mar’ah, Beirut: Darul Fikr, juz 1, h 595, hadis no. 1853 dan Ahmad bin Hanbal, ibid, juz 4 h 381.
[11] Ibn Majah, ibid, juz 1, h 595, hadis no. 1852.
[12] Muhammad bin Ali al-Syawkani, Naylu′l Awtar, 1973 M, juz 3, h 361-362.
[13] Al-Hakim al-Naisabury, op.cit, juz 4, h 190, hadis no. 7325.
[14] Abdurrauf al-Munawi, Faydu′l Qadir Syarh′l Jamial-Saghir, Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356 H, juz 5, h 328.
[15] Al-Qur’an, Surah Yusuf ayat 100.
[16] Abdurrauf al-Munawi, op.cit, juz 5, h 328.
[17] Muhammad bin Abdurahman al-Mubarak Fawry, Tuhfah al-Ahwazy, 1353 H, Beirut: Dar al-Makabah al-Ilmiyah, juz 4, h 271.
[18]Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 228.
[19] Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Beirut: Darul Fikr, juz 2, h 297-298.
[20] Al-Bukhari, Shahihu′l Bukhari, kitab Bad’u′l Khalq, bab Zikru′l Malaykat, Beirut: Dar Ibn Katsir, juz 3 h 1182, hadis no. 3065 dan bab Iza Batat al-Imra’ah Muhajirat Firasyi Zawjiha, juz 5, h 1993 dan hadis no. 4897, juz 5, h 1993, Muslim bin al-Hajjaj, op.cit, kitab al-Nikah, bab Tahrimu Imtina′iha Min Firasy Zawjiha, juz 2, hlm 1059-1060, hadis no. 1436, Abu Dawud, op.cit, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ala al-Mar’ah, hadis no.2141, juz 2 hlm 224, Ahmad bin Hanbal, op.cit, juz 2, hlm 439 hadis no. 9669 dan juz 2 hlm 480 hadis no. 10230.
[21] Masdar F Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 1997, h 76.
[22] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis; Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005, hlm 249-250.
[23] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999, h 150-151.
[24] Al-Albani, Sunan Abu Dawud hakamaala Hadisahu wa Asarahu wa ′Allaqa ′Alayh ′Allamah al-Muhaddis al-Albani, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ala  al-Mar’ah, Riyad: Maktabah al-Ma′arif li Nasyr wa Tawzi′, hadis no.2141, h 372.
[25] Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 187.
[26] Muhammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan Barokah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999 M, h 181-182.
[27] Adnan al-Tarshah, Serba Serbi Wanita (terj), Jakarta: al-Mahira, h 139-140.
[28] Abdul Halim Muhammad Abu Shuqqah, Tahriru′l Mar’ah Fi Asri al-Risalah, Kairo: Darul Qalam, 2002, juz 6, h 105.
[29] Al-Bukhari, op.cit, kitab al-Shaum, bab Man Aqsama ala Akhihi li Yaftura fi al-Tatawwu, juz 5, h 112.
[30] Abu Muhammad Iqbal, Menyayangi Isteri, Membahagiakan Suami (terj), Yogya: Mitra Pustaka, 1999, h 224-225.
[31] al-Bukhari, op.cit, kitab al-Siyam, bab Tarku′l Haid Al-Shaum, juz 1, hlm 116, hadis no. 298, dan kitab al-Zakat, bab al-Zakat Ala′l Aqarib Wa Qala al-Nabi Sala′lLahu ′Alaihi Wa Sallam: Lahu Ajrani, Ajru′l Qirabah Wa al-Shadaqah, juz 2, hlm 531, hadis no.1393.
[32] al-Bukhari, ibid, kitab al-Iman, bab Kufranu′l ′Ashir wa Kufr Ba′da Kufr Fih, juz 1, hlm 19, hadis no. 19, kitab al-Kusuf, bab Shalat al-Kusuf Jama′atan, juz 1, hlm 357, hadis no.1004, kitab al-Nikah, bab Kufranu′l ′Ashir wa huwa al-Zawj wa huwa′l Khalit  mina′l Mu′asharah fih, juz 5, hlm 1994, hadis no.4901.
[33]  Muslim bin al-Hajjaj, op.cit, kitab Haid, bab Bayan Nuqsani′l Iman Bi Nuqsi Al-Ta′at Wa Bayan Itlaq Lafzhi′l Kufr Bi′lLah Ka Kufr Al-Ni′mat Wa′l Huquq , juz 1, hlm 86, hadis no.79. Ibn Majah, op.cit, kitab al-Fitan, bab Fitnah al-Nisa’, Beirut: Darul Fikr, juz 2, hlm 1326, hadis no.4003.
[34]  al-Tirmidhi, al-Jami′ al-Shahih Sunan al-Tirmizi kitab al-Iman, bab Ma Ja’a Fi Istikmali′l Iman Wa Ziyadatuh Wa Nuqshanuh, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, juz 5 hlm 10.
[35] Ahmad bin Hanbal, op.cit, juz 1, hlm 376, hadis no. 3569, juz 1 hlm 436 no.4152, juz 22, hlm 66, no.5343, juz 2, hlm 373, no.8849.
[36] Al-Albani, al-Jami′ al-Shahih Sunan al-Tirmizi hakamaala Hadisahu wa Asarahu wa ′Allaqa ′Alayh ′Allamah al-Muhaddis al-Albani, kitab al-Iman, bab Ma Ja-a Fi Istikmali al-Iman Wa Ziyadatuh Wa Nuqsanuh, Riyad: Maktabah al-Ma′arif li Nasyr wa Tawzi, hlm 589 dan al-Albani, Sunan Ibn Majah hakamaala Hadisahu wa Asarahu wa ′Allaqa ′Alayh ′Allamah al-Muhaddis al-Albani,  kitab al-Fitan, bab fitnah al-Nisa’, Riyad: Maktabah al-Ma′arif li Nasyr wa Tawzi, hadis no.4003, hlm 661.
[37] Daud Rasyid, Sunnah di bawah Ancaman, 2006 M, Bandung: As-Syamil, hlm 147.
[38] Abdul Halim Muhammad Abu Shuqqah, op.cit, 2002 M, Kairo: Dar al- Qalam, juz 1, hlm 273.
[39] Al-Hakim al-Naisaburi, op.cit, 1990 M/1411 H, Beirut: Dar al-Kitab al-′Ilmiyah, juz 4, hlm 647, hadis no. 8788, beliau berkomentar: hadis ini sahih isnad sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak mengeluarkanya. Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad juz 3 hlm 532 dan dikemukakan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hlm 542.
[40] al-Bukhari, op.cit, Beirut: Dar Ibn Katsir, kitab al-Iman, bab Kufranu′l ′Ashir wa Kufr Ba′da Kufr Fih, juz 1, hlm 19, hadis no. 19, kitab al-Kusuf, bab Shalat al-Kusuf Jama′atan, juz 1, hlm 357, hadis no.1004, kitab al-Nikah, bab Kufranu′l ′Ashir wa huwa al-Zawj wa huwa′l Khalit  mina′l Mu′asharah fih, juz 5, hlm 1994, hadis no.4901,.
[41] Hafiz Firdaus Abdullah, 2003, Kaedah Memahami Hadis-Hadis Musykil, Kuala Lumpur: Jahabersa, hlm 71-72.
[42] Abdul Halim Muhammad Abu Shuqqah, op.cit, juz 1, hlm 274.
[43] Al-Qur’an, surah al-Tahrim ayat 6.
[44] Ahmad bin Ali bin Hajar al-′Asqalani, Fathu′l Bari, Beirut: Darul Ma′rifah, 1379 H, juz 1, hlm 422.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar