Hadist Missogynist.
Misoginis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris “misogyny” yang berarti “kebencian terhadap wanita”[2]. Klaim adanya unsur misoginis dalam hadis dipopulerkan oleh Fatima Mernissi[3] dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry[4] untuk menunjukkan hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derjat perempuan. Kajian
hadis misoginis menjadi topik yang selalu hangat dibahas dewasa ini,
seiring dengan pembahasan kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia
dalam pelbagai aspek kehidupan yang berimbas pula pada pembahasan agama. Banyak
hadis yang dianggap misoginis oleh kalangan feminis terutama hadis yang
berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, tetapi penulis hanya akan
mengulas tiga hadis yang paling sering diklaim tidak sejalan dengan
prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
A. Hadis tentang Rasulullah saw akan menyuruh wanita sujud pada suaminya jika dibolehkan sujud pada selain Allah
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها[5]
Artinya: Dari Abi Hurairah: Nabi saw berkata: jikalau aku memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh istri untuk sujud kepada suaminya.
Fatima Mernissi dalam buku Setara di Hadapan Allah (terj)
mengkritik dan menolak matan hadis ini, karena menurutnya Islam sebagai
agama monoteis tidak membenarkan seseorang menyembah sesuatu selain
Allah[6].
Kajian Sanad Hadis
Hadis ini diriwayatkan dari banyak sahabat yaitu Abu Hurairah, Qays bin Sa’d[7], Anas bin Malik[8], Muaz bin Jabal[9], Abdullah bin Abi Awfa[10], Aisyah[11]. Meskipun tidak ada riwayat yang sahih, tetapi minimal terdapat riwayat hasan, yaitu riwayat dari Abu Hurairah di atas.
Al-Syaukani mengungkapkan dalam kitabnya Naylu′l Awtar bahwa sebagian riwayat menjadi syahid terhadap riwayat lain sehingga semuanya saling menguatkan satu sama lain[12].
Kesimpulannya, hadis ini dapat diterima, kecuali beberapa kalimat dalam
matan hadis-hadis tersebut yang ditolak oleh para ulama.
Kajian Matan Hadis
Latar belakang munculnya hadis ini adalah ketika Mu′az bin Jabal kembali ke Medinah dari Syam, dia langsung sujud kepada Rasulullah saw
karena dia melihat kaum Yahudi dan Nasrani di Syam sujud kepada
rabi-rabi dan uskup-uskup serta pastor-pastor mereka, dia berfikir bahwa
Rasulullah saw lebih berhak untuk mendapatkan penghormatan dengan
bersujud kepada beliau, sehingga Rasulullah mensabdakan hadis ini[13].
Lantas,
benarkah matan hadis ini mengandung unsur penghambaan istri kepada
suami? Bila dikaji lebih lanjut, sujud dapat diartikan menjadi dua
macam, pertama sujud ibadah yang hanya boleh ditujukan pada Allah, dan
kedua sujud sebagai penghormatan yang diperbolehkan untuk selain Allah,
sebagaimana malaikat sujud dengan tunduk dan tawadu’ menghormati Adam as
sebagai imam karena dia adalah khalifah Allah.[14] Sujud penghormatan juga dilakukan di masa Nabi Yusuf as:
yìsùuur Ïm÷uqt/r& n?tã ĸöyèø9$# (#ryzur ¼çms9 #Y£Úß ( tA$s%ur ÏMt/r'¯»t #x»yd ã@Írù's? }»töäâ `ÏB ã@ö6s% ôs% $ygn=yèy_ În1u $y)ym ( ÇÊÉÉÈ[15]
Artinya: Dan
ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana, dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf dan Yusuf berkata:
"Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya
Tuhanku Telah menjadikannya suatu kenyataan…
Akan
tetapi hal ini tidak berlaku bagi seorang istri dalam melaksanakan hak
suaminya karena sujud kepada manusia tidak diperbolehkan[16]. Secara eksplisit hal ini dapat dilihat dari ungkapan Rasulullah dengan memakai kata “law”
atau “jika”, sehingga makna sujud disini bukanlah bermaksud perintah,
melainkan hanya sekedar perumpamaan atau pengandaian yang sekaligus
mengindikasikan betapa besarnya kewajiban istri dalam menunaikan hak
suaminya[17].
Sebagian
feminis liberal juga menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan
ajaran moral yang substansial dalam al-Quran yang menggariskan konsep
kesetaraan antara suami istri. Tudingan ini disangkal oleh ayat
al-Quran sendiri, karena Allah swt juga telah mengisyaratkan kelebihan
derajat yang dianugrahkan kepada para suami, seperti dalam firman-Nya:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ [18]
Artinya: dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kelebihan
yang Allah anugrahkan ini tentu saja bukan untuk menindas istri,
melainkan sebagai ukuran kebaikan bagi suami dalam memperlakukan
istrinya, sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Abduh dalam tafsirnya
bahwa Ibnu Abbas berkata: “Aku berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untukku, karena adanya ayat ini”[19].
B. Hadis tentang istri dilaknat malaikat jika tidak memenuhi panggilan suami ke tempat tidur.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
Artinya: Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika
suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu istri enggan mendatanginya
kemudian ia tidur dalam keadaan marah, maka istri dilaknat oleh
malaikat hingga pagi hari[20].
Masdar
F Mas’udi menyatakan meskipun hadis ini diriwayatkan Bukhari dan
Muslim, tapi tidak dapat diterima begitu saja karena Rasulullah saw
tidak mungkin mensabdakan ketidakadilan suami terhadap istri[21].
Kritik senada diungkapkan Siti Musdah Mulia bahwa pemahaman tekstual
terhadap hadis tersebut akan menimbulkan kesan yang kuat tentang
ketinggian derjat lelaki atas perempuan, bahkan menjadi alat legitimasi
bagi lelaki untuk memaksa dan mengeksploitasi perempuan dalam hubungan
seksual. Menurutnya, jika penolakan dikarenakan kondisi istri sedang
tidak sehat atau tidak bergairah atau karena suami mengajak dengan kasar
dan tidak manusiawi, maka seharusnya suamilah yang mendapat laknat
malaikat karena dia dianggap melakukan nusyuz terhadap istri.[22]
Zaitunah Subhan juga berpendapat serupa, bahwa laknat malaikat tidak
bisa disimpulkan mutlak menimpa istri yang tidak memenuhi ajakan
suaminya saja, tetapi juga berlaku bagi suami, karena Islam mengakui
keberadaan perempuan sebagai individu independen yang juga mempunyai hak
yang dapat dituntut.[23]
Kajian Sanad Hadis
Walaupun hanya diriwayatkan dari Abu
Hurairah saja, tetapi dari lima riwayat yang ada, tiga di antaranya
terdapat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, sehingga status hadis ini
tidak perlu dipertanyakan lagi. Hadis riwayat Abu Dawud juga dinyatakan
sahih oleh al-Albani[24].
Kajian matan hadis
Pada
hakikatnya dalam matan hadis tidak terdapat kontradiksi apapun dengan
ayat al-Quran ataupun hadis sahih lainnya. Bahkan al-Quran ketika
menyebutkan tentang berjimak secara khusus, selalu ditujukan kepada
lelaki, antaranya dalam firman Allah:
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. cqçR$tFørB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ª!$# öNä3s9 4 … ÇÊÑÐÈ [25]
Artinya: Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka, Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu…
Oleh
sebab itu, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memahami
hadis ini -agar tidak terjebak dalam prasangka negatif bahwa hadis ini
melecehkan kaum wanita- adalah:
1. Analisis bahasa
Hadis ini mengungkapkan ajakan suami dengan kata: da′a
yang berarti ajakan yang baik, sopan, dan bijaksana serta mengetahui
keadaan orang yang diajak. Sedangkan penolakan istri terhadap panggilan
tersebut diungkapkan dalam kata abat, sama dengan kata yang
digunakan al-Quran ketika menyebutkan keengganan iblis untuk sujud
kepada Adam. Selain itu dalam matan hadispun disebutkan, bahwa laknat
malaikat hanya akan berlaku bila penolakan istri membuat suami marah dan
kesal. Jadi keengganan istri untuk segera melayani suami yang berakibat
laknat malaikat hanyalah jika penolakan dilakukan tanpa alasan syar’i
dan logis yang menghalanginya untuk segera melayani suami sehingga suami
marah, padahal ia telah meminta dengan baik dan sopan.
2. Perbedaan Fisiologis dan Psikologis lelaki dan wanita
Menurut
para ahli Psikologi, hasrat seksual lelaki lebih banyak berkaitan
dengan fungsi fisiologisnya, karena lelaki akan mengumpulkan sperma
ketika hasrat seksualnya meningkat, sehingga menuntut untuk segera
disalurkan. Berbeda dengan perempuan, hasrat seksual mereka lebih banyak
bersumber dari kebutuhan psikologisnya untuk memperolehi kehangatan dan
cumbu rayu dari orang yang dicintainya.[26]
Ada beberapa fakta ilmiah tentang perbedaan seksual lelaki dan wanita[27]:
- Gairah seksual wanita berbeda dari waktu ke waktu yang diakibatkan oleh adanya haid yang disertai dengan perubahan hormon secara fisik. Sebaliknya, gairah seksual lelaki bisa terjadi setiap saat dan tidak mengenal waktu.
- Lelaki mudah sekali terangsang bahkan hanya dengan sekedar memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas seksual meskipun tanpa persiapan sebelumnya. Sedangkan wanita memerlukan rangsangan sebelum melakukan hubungan seksual, sebab ia hanya akan menginginkan seks ketika suasana batinnya dipenuhi cinta, kasih sayang, rayuan dan sentuhan fisik terlebih dahulu.
Semua
perbedaan alamiah ini, sangatlah penting direnungkan oleh pasangan
suami istri, sehingga mampu memahami kondisi masing-masing. Allah telah
menciptakan pelbagai rahasia penciptaan dua jenis kelamin yang berbeda,
agar mereka dapat saling memenuhi hak-hak satu sama lain dengan
sempurna.
Jadi,
banyaknya nash-nash yang menekankan tentang hak suami dalam hubungan
seksual dan menganjurkan istri untuk segera memenuhinya, adalah karena
fitrah lelaki itu menuntut, sedangkan wanita adalah pihak yang dituntut.
Lelaki sangat cepat merespon rangsangan sesuai dengan sikap hidup dan
aktifitasnya. Maka, hendaklah suami bersikap lemah lembut dalam meminta
hubungan seksual kepada istri, dan hendaklah istri bersikap kasih sayang
dalam memenuhi panggilan suaminya, walaupun sedang sibuk[28].
Meskipun
demikan, Islam tidak meremehkan hak seksual kaum wanita yang sama-sama
penting dengan hak lelaki. Salah satu bukti adalah riwayat dari Aun bin
Juhaifah dari ayahnya yang menceritakan tentang Ummu Darda yang
mengeluhkan suaminya tidak lagi memerlukan dirinya ketika ditanya oleh
Salman al-Farisi, sehingga Salman menasehati Abu Darda: “Sesungguhnya
Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, dirimu sendiri juga memiliki hak atas
dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu. Maka, berikanlah setiap
hak kepada pemiliknya” Abu Darda lalu menanyakan pada Rasulullah saw dan
beliau bersabda: “Salman benar”[29].
Begitu
banyak hikmah dari perintah memenuhi ajakan suami dengan segera, yang
pada hakikatnya demi kepetingan istri juga. Keengganan seorang istri
untuk melayani suaminya tanpa alasan bisa menyebabkan buruk sangka suami
dan menganggap istrinya tidak lagi setia, dan membuka kesempatan untuk
melirik wanita lain. Bahkan, kalaupun suami berusaha keras menahan diri
untuk tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya, dia akan menderita
tekanan batin, depresi, malas bekerja, dan cepat marah[30], yang tentunya berdampak negatif pada keharmonisan rumah tangga.
C. Hadis tentang wanita penghuni neraka paling banyak karena kufur terhadap suami.
عن أبي سعيد الخدري قال خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في أضحى أو فطر إلى المصلى فمر على النساء فقال يا معشر النساء تصدقن فإني أريتكن أكثر أهل النار فقلن
وبم يا رسول الله قال تكثرن اللعن وتكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل
ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن قلن وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول
الله قال أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذلك نقصان من
عقلها أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم قلن بلى قال فذلك من نقصان دينها[31]
Artinya:
dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Adha
atau Idul Fitri, lalu beliau melewati tempat shalat wanita dan
bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian, sesungguhnya aku melihat kalian adalah penduduk neraka paling banyak” Para wanita bertanya: “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian
banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Tidaklah aku lihat
golongan yang lemah akal dan agamanya yang dapat menghilangkan fikiran
lelaki yang cerdas kecuali kalian”. Mereka bertanya: “Apa kekurangan akal dan agama kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “bukankah kesaksian seorang wanita sama dengan setengah kesaksian lelaki? Mereka menjawab: “betul”. Rasulullah bersabda: “Itulah kekurangan akalnya. Bukankah jika haid wanita tidak shalat dan tidak puasa?” Mereka menjawab: “betul”. Rasulullah bersabda: “Itulah kekurangan agamanya”.
Kajian Sanad Hadis
Sanad hadis ini diperoleh dari 5 sahabat yaitu Abu Said Al-Khudri, Ibnu Abbas[32], Ibnu Umar[33], Abu Hurayrah[34], dan Ibn Mascud[35]
dengan banyak sekali jalur periwayatan yang ditulis dalam kitab hadis
mu’tabar: Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah dan Ahmad bin Hanbal. Dua
hadis diriwayatkan Bukhari dan satu riwayat dalam Sahih Muslim, sehingga
tidak diragukan kesahihannya. Sementara al-Albani juga menyatakan hadis
riwayat Tirmizi dan Ibn Majah adalah sahih.[36]
Kajian Matan Hadis
Jika
hadis ini dipahami menurut paradigma barat, tentu kita akan salah
memahaminya. Mengapa wanita disebutkan lebih banyak masuk neraka,
padahal wanita diciptakan sama seperti lelaki, yaitu tanpa dosa asal.
Oleh karena itu, hadis ini harus dipahami bersama-sama dengan hadis lain
yang semakna dengannya[37]. Sehingga, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan yaitu:
Pertama:
Apakah hadis ini berarti wanita lebih dominan dikuasai kejahatan dalam
fitrah mereka sementara lelaki tidak? Jawabannya tentu tidak, jika
memang kejahatan telah ada pada diri wanita, tentu mereka tidak akan
diminta pertangungjawaban darinya. Akan tetapi hadis tersebut menyatakan
bahwa mereka bertanggung-jawab terhadap apa yang mereka kerjakan
sendiri, seperti tidak patuh kepada suami. Maka tidak salah jika Ibn
Hajar menyatakan bahwa dalam hadis Jabir terdapat dalil yang menunjukkan
bahwa yang terlihat dalam neraka adalah wanita-wanita yang memiliki
sifat-sifat tercela[38] seperti dalam hadis ini:
وأكثر من رأيت فيها من النساء إن ائتمن أفشين وأن سألن ألحفن وإذا سئلن بخلن وإذا أعطين لم يشكرن[39]
Artinya: Orang
yang paling banyak aku lihat di dalam neraka adalah kaum wanita yang
apabila diberi kepercayaan menyimpan rahsia dia bocorkan, apabila
diminta sesuatu kepadanya ia bakhil, apabila mereka meminta, mereka
bersikeras dan meminta lebih banyak, dan mereka tidak pandai berterima
kasih.
Begitu juga riwayat dari Ibnu Abbas:
النبي صلى الله عليه وسلم:
أريت النار فإذا أكثر أهلها النساء يكفرن قيل أيكفرن بالله قال يكفرن
العشير ويكفرن الإحسان لو أحسنت إلى إحداهن الدهر ثم رأت منك شيئا قالت ما
رأيت منك خيرا قط[40]
Artinya: Nabi saw bersabda: “Aku melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, mereka telah mengkufuri”. Dikatakan: “Apakah mereka kufur terhadap Allah?” Rasulullah saw bersabda: “Mereka
mengkufuri suami dan kebaikan, jika engkau berbuat baik kepadanya
selama satu tahun penuh, lalu dia melihat sesuatu yang buruk darimu,
maka dia akan mengatakan aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun
darimu”.
Jadi,
dosa yang paling banyak menyeret wanita masuk ke neraka adalah
kemaksiatan tehadap suaminya dan pengingkaran terhadap segala kebaikan
suaminya.
Kedua:
Peringatan Rasulullah saw dalam hadis ini mudah diterima oleh muslimah
pada zaman Rasulullah saw karena mereka sering mengingat dan diingatkan
tentang hari kebangkitan, padang mahshar, syurga dan neraka. Justru, hal
ini tidak mengejutkan mereka, malah mereka berusaha bertanya kepada
Rasulullah saw kenapa dan bagaimana cara mengelakkannya. Berbeda dengan
keadaan muslimah zaman sekarang yang mayoritas terlena dan lalai dari
urusan hari akhir, sehingga ketika mendengar hadis ini mereka terkejut
dan buru-buru berusaha menepisnya. Oleh karena itu, hendaklah memahami
hadis ini sesuai suasana masyarakat ketika ia disabdakan[41].
Ketiga:
Hadis ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin -baik lelaki maupun
wanita- agar mereka berusaha sedaya upaya untuk menghindarkan diri dari
siksa neraka. Bagi kaum wanita, dapat dilakukan dengan memperbanyak
sedekah dan meninggalkan sikap durhaka terhadap suami atau kufur
terhadap budi baiknya.
Sedangkan
bagi lelaki, dengan memelihara ibu-ibu, istri-istri, puteri-puteri, dan
saudari-saudarinya dengan baik. Dia berkewajiban menyediakan kesempatan
yang cukup bagi mereka untuk mendapatkan pengajaran dan melakukan
berbagai ibadah dan ketaatan pada Allah, agar hati mereka dipenuhi
nilai-nilai iman dan taqwa. Tanggung jawab ini sepenuhnya ada di pundak
kaum lelaki[42]. Sebagaimana Allah telah memerintahkan dalam firman-Nya:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur#Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur[43]
Artinya: Wahai
orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari
neraka yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu (berhala);
Ibnu
Hajar ketika mengomentari hadis ini juga mengatakan bahwa dalam hadis
ini terdapat anjuran menyampaikan nasihat kepada wanita sebab nasihat
dapat menghilangkan sifat tercela, sedangkan bersedekah yang dianjurkan
kepada wanita dapat menghindarkan azab dan menghapuskan dosa yang
terjadi antara para makhluk.[44]
PENUTUP
Bedasarkan
penjelasan di atas, tidak sedikitpun kita temukan fakta bahwa terdapat
unsur misoginis di dalam hadis-hadis tersebut. Bahkan semua ini semakin
mengukuhkan syari’at Islam sebagai satu-satunya agama yang
menjaga dan mengatur secara terperinci hak-hak setiap individu lelaki
maupun wanita, agar dapat terpenuhi sesuai fitrahnya masing-masing.
Kesetaraan gender dalam Islam bukanlah dengan menjadikan posisi suami
istri selalu sama rata dalam segala hal, melainkan persamaan hak dan
kewajiban sesuai dengan fitrah dan peranan masing-masing untuk saling
melengkapi dalam membina mahligai rumah tangga.
Selain
itu, salah satu kesalahan paradigma para feminis liberal - disamping
memakai ilmu humaniora barat dan logika akal sebagai asas utama memahami
al-Quran dan hadis - adalah mereka membawa permasalahan yang terjadi
dalam tataran sosial ke ranah ideologi, sehingga ketika menjumpai
ketidakadilan terhadap istri dalam masyarakat muslim, mereka buru-buru
menuding bahwa teks-teks agamalah penyebabnya, atau tafsir dan
penjelasan ulamalah yang misoginis dan terlalu partriarki (memihak
lelaki). Padahal seharusnya dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan
dan mengadakan perbaikan dalam masyarakat, hendaknya tetap dilandaskan
pada syariat Islam, karna realitanya mayoritas para pelaku ketidakadilan
terhadap istri adalah mereka yang tidak memahami syariat dan
mengabaikan nash-nash al-Quran dan hadis, yang secara komprehensif telah
menuntun pemenuhan hak-hak istri sebagaimana mestinya. Wa′lLahu a’lam bi al-shawab.
[1] Disampaikan dalam Kajian FOSMA Kairo, 21 November 2009
[2] Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,1986, h 382.
[3] Fatima
Mernissi adalah seorang penulis, sosiolog, dan feminis kelahiran Maroko
tahun 1940. Ia kuliah tentang ilmu politik di Universitas Mohammed V
Rabat, Maroko, dan melanjutkan pasca sarjana di Universitas Sorbonne,
Perancis dan Universitas Brandeis, Amerika Serikat , hingga
mendapatkan gelar doktor tahun 1973.
[4] Buku
ini merupakan edisi revisi dari disertasi Fatima Mernissi berbahasa
Perancis yang diterbitkan dalam bahasa Inggris: Beyond the Veil:
Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society, dan diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dalam judul Seks dan Kekuasaan, penerbit Al Fikr, 1975.
Sedangkan buku Women in Islam ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
tahun 1994 dengan judul Perempuan dalam Islam oleh penerbit Pustaka.
[5] Al-Tirmizi, al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmizi, al-Nikah, bab Ma Ja’a Fi Haq al-Zawj ‘ala′l Mar’ah, Beirut: Dar Ihya al-Turasil ‘Arabi, juz 3, h 465, hadis no.1159.
[6] Fatima Mernissi dan Rif'at Hassan, Setara di Hadapan Allah (terj), Yogyakarta: Media Gama Offset, 1999, h 44.
[7] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Fikr, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ‘ala al-Mar‘ah, juz 2 h 224, hadis no.2140.
[8] Al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmi, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ‘ala al-Mar’ah, juz 5, h 363, dan Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Mesir: Muassasat Qurtubah, juz 3 h 158.
[9] Al-Hakim al-Naisabury, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1990 M/1411 H, juz 2 h 208.
[11] Ibn Majah, ibid, juz 1, h 595, hadis no. 1852.
[12] Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Naylu′l Awtar, 1973 M, juz 3, h 361-362.
[13] Al-Hakim al-Naisabury, op.cit, juz 4, h 190, hadis no. 7325.
[14] ‘Abdurrauf al-Munawi, Faydu′l Qadir Syarh′l Jami’al-Saghir, Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356 H, juz 5, h 328.
[15] Al-Qur’an, Surah Yusuf ayat 100.
[16] Abdurrauf al-Munawi, op.cit, juz 5, h 328.
[17] Muhammad bin ‘Abdurahman al-Mubarak Fawry, Tuhfah al-Ahwazy, 1353 H, Beirut: Dar al-Makabah al-‘Ilmiyah, juz 4, h 271.
[18]Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 228.
[19] Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Manar, Beirut: Darul Fikr, juz 2, h 297-298.
[20] Al-Bukhari, Shahihu′l Bukhari, kitab Bad’u′l Khalq, bab Zikru′l Malaykat, Beirut: Dar Ibn Katsir, juz 3 h 1182, hadis no. 3065 dan bab Iza Batat al-Imra’ah Muhajirat Firasyi Zawjiha, juz 5, h 1993 dan hadis no. 4897, juz 5, h 1993, Muslim bin al-Hajjaj, op.cit, kitab al-Nikah, bab Tahrimu Imtina′iha Min Firasy Zawjiha, juz 2, hlm 1059-1060, hadis no. 1436, Abu Dawud, op.cit, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ′ala al-Mar’ah, hadis no.2141, juz 2 hlm 224, Ahmad bin Hanbal, op.cit, juz 2, hlm 439 hadis no. 9669 dan juz 2 hlm 480 hadis no. 10230.
[21] Masdar F Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 1997, h 76.
[22] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis; Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005, hlm 249-250.
[23] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999, h 150-151.
[24] Al-Albani, Sunan Abu Dawud hakama ′ala Hadisahu wa Asarahu wa ′Allaqa ′Alayh ′Allamah al-Muhaddis al-Albani, kitab al-Nikah, bab Haq al-Zawj ‘ala al-Mar’ah, Riyad: Maktabah al-Ma′arif li Nasyr wa Tawzi′, hadis no.2141, h 372.
[25] Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 187.
[26] Muhammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan Barokah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999 M, h 181-182.
[27] Adnan al-Tarshah, Serba Serbi Wanita (terj), Jakarta: al-Mahira, h 139-140.
[28] Abdul Halim Muhammad Abu Shuqqah, Tahriru′l Mar’ah Fi ‘Asri al-Risalah, Kairo: Darul Qalam, 2002, juz 6, h 105.
[29] Al-Bukhari, op.cit, kitab al-Shaum, bab Man Aqsama ‘ala Akhihi li Yaftura fi al-Tatawwu’, juz 5, h 112.
[30] Abu Muhammad Iqbal, Menyayangi Isteri, Membahagiakan Suami (terj), Yogya: Mitra Pustaka, 1999, h 224-225.
[31] al-Bukhari, op.cit, kitab al-Siyam, bab Tarku′l Haid Al-Shaum, juz 1, hlm 116, hadis no. 298, dan kitab al-Zakat, bab al-Zakat ′Ala′l Aqarib Wa Qala al-Nabi Sala′lLahu ′Alaihi Wa Sallam: Lahu Ajrani, Ajru′l Qirabah Wa al-Shadaqah, juz 2, hlm 531, hadis no.1393.
[32] al-Bukhari, ibid, kitab al-Iman, bab Kufranu′l ′Ashir wa Kufr Ba′da Kufr Fih, juz 1, hlm 19, hadis no. 19, kitab al-Kusuf, bab Shalat al-Kusuf Jama′atan, juz 1, hlm 357, hadis no.1004, kitab al-Nikah, bab Kufranu′l ′Ashir wa huwa al-Zawj wa huwa′l Khalit mina′l Mu′asharah fih, juz 5, hlm 1994, hadis no.4901.
[33] Muslim bin al-Hajjaj, op.cit, kitab Haid, bab Bayan Nuqsani′l Iman Bi Nuqsi Al-Ta′at Wa Bayan Itlaq Lafzhi′l Kufr Bi′lLah Ka Kufr Al-Ni′mat Wa′l Huquq , juz 1, hlm 86, hadis no.79. Ibn Majah, op.cit, kitab al-Fitan, bab Fitnah al-Nisa’, Beirut: Darul Fikr, juz 2, hlm 1326, hadis no.4003.
[34] al-Tirmidhi, al-Jami′ al-Shahih Sunan al-Tirmizi kitab al-Iman, bab Ma Ja’a Fi Istikmali′l Iman Wa Ziyadatuh Wa Nuqshanuh, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, juz 5 hlm 10.
[35] Ahmad bin Hanbal, op.cit, juz 1, hlm 376, hadis no. 3569, juz 1 hlm 436 no.4152, juz 22, hlm 66, no.5343, juz 2, hlm 373, no.8849.
[36] Al-Albani, al-Jami′ al-Shahih Sunan al-Tirmizi hakama ′ala Hadisahu wa Asarahu wa ′Allaqa ′Alayh ′Allamah al-Muhaddis al-Albani, kitab al-Iman, bab Ma Ja-a Fi Istikmali al-Iman Wa Ziyadatuh Wa Nuqsanuh, Riyad: Maktabah al-Ma′arif li Nasyr wa Tawzi′, hlm 589 dan al-Albani, Sunan Ibn Majah hakama ′ala Hadisahu wa Asarahu wa ′Allaqa ′Alayh ′Allamah al-Muhaddis al-Albani, kitab al-Fitan, bab fitnah al-Nisa’, Riyad: Maktabah al-Ma′arif li Nasyr wa Tawzi′, hadis no.4003, hlm 661.
[37] Daud Rasyid, Sunnah di bawah Ancaman, 2006 M, Bandung: As-Syamil, hlm 147.
[38] Abdul Halim Muhammad Abu Shuqqah, op.cit, 2002 M, Kairo: Dar al- Qalam, juz 1, hlm 273.
[39] Al-Hakim al-Naisaburi, op.cit, 1990 M/1411 H, Beirut: Dar al-Kitab al-′Ilmiyah,
juz 4, hlm 647, hadis no. 8788, beliau berkomentar: hadis ini sahih
isnad sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak
mengeluarkanya. Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad juz 3 hlm 532 dan dikemukakan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hlm 542.
[40] al-Bukhari, op.cit, Beirut: Dar Ibn Katsir, kitab al-Iman, bab Kufranu′l ′Ashir wa Kufr Ba′da Kufr Fih, juz 1, hlm 19, hadis no. 19, kitab al-Kusuf, bab Shalat al-Kusuf Jama′atan, juz 1, hlm 357, hadis no.1004, kitab al-Nikah, bab Kufranu′l ′Ashir wa huwa al-Zawj wa huwa′l Khalit mina′l Mu′asharah fih, juz 5, hlm 1994, hadis no.4901,.
[41] Hafiz Firdaus Abdullah, 2003, Kaedah Memahami Hadis-Hadis Musykil, Kuala Lumpur: Jahabersa, hlm 71-72.
[42] Abdul Halim Muhammad Abu Shuqqah, op.cit, juz 1, hlm 274.
[43] Al-Qur’an, surah al-Tahrim ayat 6.
[44] Ahmad bin Ali bin Hajar al-′Asqalani, Fathu′l Bari, Beirut: Darul Ma′rifah, 1379 H, juz 1, hlm 422.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar